BAB I
SISTEM PEMERINTAHAN ISLAM : Ketundukan Hanya Kepada Allah SWT, Bukan Kepada Manusia
Mengangkat Khalifah adalah Kewajiban Seluruh Muslim
Allah SWT mewajibkan umat Islam mengatur hidupnya dengan syariah Islam. Allah SWT berfirman:
فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ
"Maka
putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan
kebenaran yang telah datang kepadamu .” (Qs. al-Maaidah [5]: 48)
Khilafah adalah sebuah kekuasaan yang menerapkan syariah Islam secara kaffah (menyeluruh).
Merupakan sebuah kebutuhan bagi umat Islam untuk mengangkat seorang
Khalifah yang akan memimpin Daulah Khilafah dan menerapkan syariah
Islam secara kaffah.
Maka, tegaknya Daulah Khilafah adalah sebuah
kewajiban, dan setiap kelalaian dalam upaya untuk menegakkannya
merupakan dosa besar. Rasulullah Muhammad saw. memerintahkan umat Islam
untuk memberikan bai’at kepada seorang Khalifah. Nabi menggambarkan bahwa kematian seorang Muslim yang tidak memberikan bai’at (kepada seorang Khalifah) merupakan kematian yang sangat buruk, dengan menyebutnya sebagai mati jahiliyah:
« وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِيْ عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً »
“Dan barangsiapa mati, sementara tidak ada bai’at di pundaknya, maka matinya (dalam keadaan) jahiliyah .” (Hr. Muslim)
Dengan syariah Islam,
Khilafah memelihara seluruh urusan umat manusia. Jika syariah tidak
diterapkan dalam naungan Daulah Khilafah, maka kedaulatan Islam dalam
seluruh aspek kehidupan manusia tidak akan pernah terwujud secara
nyata. Maka kerahmatan Islam yang dijanjikan juga tidak bisa dirasakan
secara nyata pula.
Jadi, Khalifah bisa
dikatakan sebagai wakil umat dalam pemerintahan untuk penerapan syariah
Islam. Khalifah adalah kepala negara Daulah Khilafah. Islam memberikan
hak kepada umat untuk memilih Khalifah yang dikehendakinya untuk
mengurus kehidupan mereka. Melalui bai’at, calon khalifah yang menang
dalam pemilihan, sah menjadi Khalifah. Maka, tidak boleh ada paksaan
dalam pemilihan Khalifah. Pemilihan harus berlangsung atas dasar
prinsip ridha wa ikhtiyar (kerelaan dan kebebasan memilih), sebagaimana
umat Islam di masa lalu telah memberikan bai’at kepada keempat
Khulafa’ur Rasyidin secara sukarela. Bai’at kepada Khalifah diberikan
umat dengan syarat Khalifah yang terpilih akan menerapkan syariah Islam
secara kaffah.
***
Khilafah Bukan Sistem Diktator, Bukan Pula Sistem Demokrasi
Khilafah
adalah sistem politik Islam. Khilafah tidak sama dengan sistem
diktator, tapi juga bukan sistem demokrasi. Salah satu prinsip penting
dari Khilafah, yang sekaligus membedakan dari sistem lainnya baik
diktator maupun demokrasi, adalah bahwa kedaulatan, yakni hak untuk
menetapkan hukum, yang menentukan benar dan salah, yang menentukan
halal dan haram, ada di tangan syariah, bukan di tangan manusia. Karena
itu, baik Khalifah maupun umat, sama-sama terikat kepada syariah Islam.
Khalifah wajib menerapkan syariah Islam dengan benar, sesuai dengan
ketetapan Allah dalam al-Quran dan As Sunnah. Tidak boleh sesuka
hatinya. Allah SWT berfirman:
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir .” (Qs. al-Maidah [5]: 44)
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” (Qs. al-Maidah [5]: 45)
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.” (Qs. al-Maidah [5]: 47)
Sementara,
dalam sistem demokrasi kedaulatan ada di tangan manusia, bukan di
tangan Allah SWT, Dzat yang Maha Menciptakan manusia dan alam semesta.
Atas nama kebebasan, sistem demokrasi telah membuat manusia, melalui
wakil-wakilnya di lembaga legislatif bertindak sebagai tuhan, yang
merasa berwenang menetapkan hukum sesuai dengan keinginan mereka. Kredo
demokrasi mengatakan “suara rakyat adalah suara tuhan (vox populei vox dei)”.
Suara mayoritas menjadi penentu kebenaran, betapapun buruknya sebuah
keputusan atau pemikiran. Ketika sudah didukung suara mayoritas, maka
keputusan atau pemikiran itu seakan telah menjadi benar. Dengan
demikian, jelaslah bahwa pada hakikatnya sistem demokrasi ini
bertentangan sama sekali dengan Islam. Karena itu, umat Islam tidak
boleh menerima, menerapkan, dan mendakwahkan sistem demokrasi ini dan
sistem apapun lainnya yang dibangun di atas prinsip demokrasi. Allah
SWT telah berfirman:
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الإِسْلامُ
“Sesungguhnya agama di sisi Allah hanyalah Islam.” (Qs. Ali ’Imran [3]: 19)
***
Peran Wakil Rakyat dalam Daulah Khilafah
Syariah
Islam telah mengizinkan umat Islam untuk memilih wakil mereka dalam
menjalankan urusan mereka. Pada kesempatan Bai’at Aqabah Kedua,
Rasulullah mengatakan:
«أَخْرِجُوْا إِلَيَّ مِنْكُمْ اِثْنَيْ عَشَرَ نَقِيْبًا لِيَكُونُوْا عَلَى قَوْمِهِمْ بِمَا فِيْهِمْ»
“Ajukan kepadaku dua belas pemimpin, agar mereka menjadi pemimpin bagi kaumnya .”
Dalam Daulah Khilafah,
wakil rakyat yang menjadi anggota Majelis Umat dipilih oleh umat, bukan
ditunjuk atau ditetapkan oleh Khalifah. Akan
tetapi, sebagaimana Khalifah, mereka tidak berhak menetapkan hukum,
karena kedaulatan tidak berada di tangan mereka, tetapi di tangan
syariah. Majelis Umat berwenang mengontrol kebijakan Khalifah dengan
ketat dalam mengatur urusan rakyat. Di sisi lain, Khalifah berhak
mendatangi Majelis Umat untuk bemusyawarah atau meminta pendapat
berkaitan dengan pengaturan urusan umat.
Tapi,
musyawarah ini bukanlah untuk mentapkan hukum, menentukan yang halal
menjadi haram, atau sebaliknya yang haram menjadi halal. Karena itu,
dalam Daulah Khilafah tidak boleh ada musyawarah untuk misalnya,
menetapkan kebijakan privatisasi sumberdaya energi, karena ini
merupakan perkara yang diharamkan Islam. Demikian pula, tidak boleh ada
musyawarah dalam perkara-perkara yang diwajibkan Islam, seperti
perlu-tidaknya mengerahkan pasukan untuk membebaskan negeri-negeri
Muslim yang terjajah, atau menjadikan akidah Islam sebagai asas sistem
pendidikan, atau menyatukan seluruh negeri Islam ke dalam wadah Daulah
Khilafah.
Mengenai keanggotan Majelis Umat, warga negara non-Muslim bisa menjadi anggota Majelis Umat untuk melakukan pengaduan (syakwa)
jika ada penyimpangan dalam penerapan syariah Islam atau kedzaliman
terhadap diri mereka. Akan tetapi, anggota Majelis Umat yang non-Muslim
itu tidak berhak menyampaikan pendapat mereka tentang syariah yang
ditetapkan oleh Khalifah, karena mereka tidak meyakini akidah Islam dan
sudut pandang Islam yang menjadi dasar penerapan syariah.
***
Proses Pengambilan Keputusan
Islam
tidak sekadar menjelaskan prinsip-prinsip dasar mengenai berbagai aspek
kehidupan manusia, tetapi juga memberikan aturan yang rinci. Sebagai
contoh, dalam aspek ekonomi ada sejumlah ketentuan syariah yang
mengatur tanah pertanian, riba, mata uang, kepemilikan umum dan
berbagai pendapatan negara. Berkaitan dengan kebijakan luar negeri, ada
sejumlah ketentuan syariah mengenai jihad, perjanjian internasional,
dan hubungan diplomatik. Demikian pula dalam aspek pemerintahan,
syariah Islam mengatur masalah pemilihan, bai’at,
pengangkatan para wali (kepala daerah) dan syarat mengenai pemakzulan
penguasa. Khalifah wajib menerapkan ketentuan-ketentuan tersebut apa
adanya, tanpa menambah atau mengurangi. Khalifah tidak dibenarkan
bersikap mengikuti kehendak pribadinya. Khalifah juga tidak membutuhkan
dukungan mayoritas anggota Majelis Umat untuk menerapkannya.
Adapun menyangkut ketentuan yang mengandung ikhtilaf,
syariah telah memberikan hak kepada Khalifah untuk mengadopsi pendapat
yang menurut pertimbangannya mempunyai dalil syara’ yang paling kuat,
dan kemudian menetapkannya sebagai undang-undang negara. Abu Bakar ra,
pada masa awal kekhilafahannya, telah menolak pendapat mayoritas
sahabat tentang hukuman bagi orang yang menolak membayar zakat. Beliau
memilih mengirimkan pasukan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Umar
bin Khaththab ra tetap menerapkan hasil ijtihadnya tentang persoalan
tanah Irak, walaupun Bilal ra dan para sahabat lainnya tidak setuju.
Meski demikian, Khalifah tidak akan mengadopsi salah satu pendapat yang
berkaitan dengan masalah pribadi atau cabang-cabang akidah. Dalam hal
ini, umat dibolehkan mengikuti pendapat atau hasil ijtihad yang
berbeda. Jadi, perbedaan pendapat dalam masalah ini dibolehkan ada di
tengah masyarakat.
Dalam
perkara-perkara yang dipahami publik dan bersifat praktis, Khalifah
terikat dengan pendapat mayoritas. Misalnya tentang lokasi yang paling
strategis untuk mendirikan universitas di sebuah daerah. Dalam hal ini
Khalifah wajib mengikuti pendapat mayoritas. Dalam musyawarah menjelang
Perang Uhud, misalnya, Rasulullah dan para sahabat senior berpendapat
sebaiknya pasukan Quraisy dihadapi di dalam kota Madinah. Akan tetapi,
mayoritas sahabat yang muda berpendapat sebaiknya menyambut pasukan
Quraisy di luar kota Madinah. Maka pendapat mayoritas itulah yang
kemudian dilaksanakan, sekalipun ini bertentangan dengan pendapat
Rasulullah saw dan para sahabat senior.
Adapun
dalam perkara-perkara yang memerlukan keahlian, maka Khalifah akan
bermusyawarah dengan para ahli, bukan dengan masyarakat awam. Setelah
bermusyawarah, Khalifah akan mengadopsi pendapat yang dianggap memiliki
hujjah
(argumentasi) paling kuat. Dalam hal ini, pendapat mayoritas ahli tidak
menjadi pertimbangan utama, karena pendapat yang memiliki argumentasi
paling kuat tidak selalu dipegang oleh kelompok mayoritas. Misalnya
dalam masalah kelangkaan listrik, setelah melakukan musyawarah dengan
para ahli, Khalifah akan memberikan keputusan final apakah akan
membangun pembangkit listrik dengan energi nuklir, energi matahari,
atau melakukan konversi dari energi bahan bakar minyak ke batu bara.
Model pengambilan keputusan seperti ini pernah dilakukan oleh
Rasulullah menjelang perang Badar, di mana Rasulullah saw akhirnya
memindahkan camp
pasukan Islam setelah melakukan musyawarah dengan Hubab bin Mundzir ra,
seorang shahabat yang dianggap paling mengetahui daerah itu.
***
Khilafah akan Mengakhiri Penjajahan
Fakta menunjukkan bahwa sistem pemerintahan di Indonesia saat ini adalah sistem sekuler yang diwariskan oleh penjajah Belanda2,
kemudian dilanjutkan dan dipertahankan oleh AS. Maka wajar bila
kekuatan kolonialis masih bisa terus mengontrol urusan rakyat Indonesia
melalui sistem tersebut. Sistem pemerintahan yang diterapkan Indonesia
saat ini memiliki sejumlah kelemahan yang dapat dimanfaatkan oleh
kekuatan kolonialis untuk mengamankan kepentingan mereka di Indonesia.
Dengan hak legislasi ada di tangan wakil rakyat, maka negara-negara
kolonialis itu, melalui infiltrasi kepada wakil-wakil rakyat yang
dilakukan dengan berbagai cara, dengan mudah bisa mempengaruhi produk
hukum dan perundang-undangan yang dihasilkan oleh wakil rakyat itu.
Hasilnya, lahir lah hukum dan perundang-undangan yang pro kepentingan
penjajah. Lihatlah UU Migas, UU Penanaman Modal, UU SDA dan yang lainnya.
Di
dalam Daulah Khilafah, seluruh hukum dan perundang-undangan yang akan
diterapkan harus berlandaskan dalil-dalil syara’. Karena itu, Khalifah
tidak memiliki pilihan lain kecuali mengambil syariah dan peraturan
yang berasal dari al-Quran dan as-Sunnah. Dengan metode ini, kedaulatan
benar-benar berada di tangan syariah, bukan di tangan wakil rakyat.
Dengan cara ini, kekuatan penjajah tidak mempunyai peluang untuk
memanfaatkan proses legislasi demi kepentingan mereka. Maka, pintu
penjajahan telah tertutup sejak dini.
***
Sistem
Pemerintahan Indonesia Saat Ini Membuat Penguasa Tidak Mudah Dimintai
Pertanggungjawaban. Hanya dalam Khilafah, Kontrol yang Ketat Bisa
Dilakukan
Sesuai
Pasal 5, pasal 7B, dan pasal 20 UUD 1945 yang telah mengalami amandemen
IV (Tahun 2003), Presiden tidak dapat diberhentikan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebelum Mahkamah Konstitusi memutus
pelanggaran konstitusi apa yang dilakukan oleh Presiden. Sementara,
Presiden bersama DPR sepenuhnya bebas membuat undang-undang apa pun,
diantaranya undang-undang yang dapat mencegah rakyat memiliki akses
guna melakukan kontrol atau koreksi terhadap pemerintah. Contoh
mutakhir adalah Rancangan Undang-Undang tentang Kerahasiaan Negara, di
mana di dalamnya terdapat ketentuan yang dapat membuat sejumlah
informasi penting yang menyangkut rakyat banyak tidak dibuka untuk
publik; atau Rancangan Undang-Undang Jaring Pengaman Sektor Keuangan
(JPSK), yang menyatakan bahwa para pejabat di sektor keuangan ini tidak
dapat dijerat hukum terkait kebijakannya dalam memberikan Bantuan
Likuiditas guna menghadapi krisis finansial global. Demikianlah,
ketentuan dan mekanisme dibuat sedemikian rupa sehingga pada akhirnya
rakyat tidak bisa melakukan kontrol dan koreksi terhadap pemerintah.
Dalam
Daulah Khilafah, kepala negara atau Khalifah bukanlah seorang raja atau
seorang diktator. Khalifah tidak dapat mengganti atau mengubah syariah
Islam sesuka hatinya. Dalam Daulah Khilafah, upaya meminta
pertanggungjawaban penguasa bukan sekadar hak, tapi merupakan kewajiban
dari setiap warga, karena amar ma’ruf dan nahi munkar merupakan salah
satu kewajiban dalam Islam. Rasulullah saw. bersabda:
«وَالَّذِي
نَفْسِي بِيَدِهِ لَتَأْمُرُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ وَلَتَنْهَوُنَّ عَنِ
الْمُنْكَرِ أَوْ لَيُوْشِكَنَّ اللهُ أَنْ يَبْعَثَ عَلْيِكُمْ عِقَاباً
مِنْهُ ثُمَّ تَدْعُوْنَهُ فَلاَ يُسْتَجَابُ لَكُمْ»
“Demi
dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, hendaklah kalian melakukan amar
ma’ruf nahi munkar, atau Allah akan menurunkan hukuman atas kalian,
kemudian kalian berdoa kepada-Nya, maka Dia tidak mengabulkan doamu.” (Hr. Tirmidzi).
Jadi, dalam Daulah Khilafah setiap orang, kelompok, partai, anggota Majelis Umat atau qadhi
Mahkamah Madzalim bisa mengontrol dan mengoreksi Khalifah. Islam
memerintahkan untuk memberhentikan seorang Khalifah jika terbukti
memerintah bukan dengan syariah Islam, atau jika bersikap dzalim kepada
rakyatnya. Pemakzulan ini merupakan sebuah kewajiban untuk
menghilangkan kedzaliman. Maka, ketika kedzaliman terjadi, masyarakat
berhak mengajukan pengaduan kepada Mahkamah Madzalim. Jika kedzaliman
itu terbukti dilakukan oleh Khalifah, maka Mahkamah Madzalim berhak
memberhen-tikannya.
***
Khilafah Akan Menghapus Korupsi Politik
Korupsi
politik senantiasa muncul dalam masyarakat sekuler, lebih-lebih di
negara yang menerapkan sistem demokrasi, tidak terkecuali di Indonesia.
Namun masyarakat seringkali salah mengira. Mereka menganggap korupsi
politik itu semata-mata terjadi karena kesalahan individu, bukan
kesalahan sistemik. Padahal fakta menunjukkan bahwa sistemlah yang
menghasilkan individu-individu yang bermasalah. Dan sistem itu pula
yang kemudian membiarkan individu-individu tersebut melakukan berbagai
bentuk korupsi.
Salah
satu bentuk korupsi politik yang paling menonjol adalah dengan
memperjual-belikan pasal-pasal dalam undang-undang atau keputusan
politik lain seperti penetapan sebuah jabatan atau penyusunan anggaran.
Dengan hak untuk membuat hukum perundang-undangan yang dimilikinya,
anggota lembaga legislatif bisa melakukan negosiasi kepada pihak-pihak
tertentu, baik di dalam maupun di luar negeri untuk memasukkan
pasal-pasal dalam perundangan yang menguntungkan mereka. Atau mengatur
besaran anggaran dan person tertentu dalam jabatan publik yang sesuai
dengan kepentingan mereka. Untuk melakukan
itu semua, anggota legislatif akan mendapatkan bayaran sejumlah uang.
Tertangkapnya sejumlah anggota DPR dalam kasus suap menunjukkan bahwa
praktek seperti itu memang berlangsung secara nyata. Karena itu, uang
ratusan juta bahkan milyaran rupiah yang dibelanjakan agar bisa menjadi
anggota parlemen dianggap sebagai sebuah investasi yang pantas. Dengan
cara inilah orang-orang yang bermental korup justru yang paling banyak
terjaring masuk ke parlemen. Tak mengherankan, jika lembaga perwakilan
rakyat itu lebih menjadi wadah untuk mengamankan kepentingan individu
yang korup, bukan lembaga untuk mengurusi kepentingan rakyat. Sementara
partai yang semestinya menjadi sarana perjuangan politik demi
kepentingan rakyat, justru menjadi alat untuk melakukan berbagai
tindakan korupsi politik tadi. Walhasil, jadilah korupsi dilakukan
secara bersama-sama. Inilah fenomena “korupsi berjamaah”.
Dalam
Daulah Khilafah, karena hak membuat hukum dan perundang-undangan ada
pada syariah dan proses legislasinya dilakukan dengan ijtihad, maka
tidak ada seorang pun, termasuk anggota Majelis Umat, yang bisa
melakukan korupsi politik dengan jalan menjual belikan pasal-pasal
dalam perundang-undangan itu. Dalam Daulah Khilafah, para wakil
juga rakyat tidak bisa memeras Khalifah dengan ancaman mosi tidak
percaya atas prasangka semata. Khalifah hanya bisa diberhentikan bila
ia menyimpang dari syariah Islam. Dengan cara inilah, Khilafah akan
menghapuskan korupsi politik yang merajalela di dalam sistem demokrasi.
|